"Geger Cilegon dan Terputusnya Dzuriyyah Kesultanan Banten".
Oleh : Bambang Irawan (Penulis Buku Geger Cilegon 1888).
PENDAHULUAN
Geger Cilegon adalah satu-satunya peristiwa pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Hindia Belanda, yang berdiri di Nusantara sejak tahun 1799 sampai 1942. Dan selama berlangsungnya pemerintahan Hindia Belanda atau kebanyakan orang menyebutnya dengan istilah "Jaman Penjajahan", tidak ada satu daerah pun di Nusantara ini yang berani melakukan pemberontakan terhadap pemerintah, yang tujuannya untuk merdeka dan mendirikan pemerintahan sendiri yang berdaulat, kecuali di Banten, yaitu terjadi pada bulan Juli tahun 1888, yang kemudian gerakan pemberontakan ini dikenal dengan sebutan Geger Cilegon!
Setelah dihapuskannya kesultanan Banten oleh kerajaan Inggris pada tahun 1813, rakyat Banten kehilangan kedaulatan negaranya, karena wilayah kekuasaan kesultanan Banten dimasukan kedalam struktur pemerintahan Hindia Belanda, dan wilayah administrasinya dinamakan 'Karesidenan Banten', pada tahun 1817 diangkatlah Yacobus de Bruin, sebagai Residen Banten Pertama, akan tetapi ia hanya menjabat selama 1 tahun saja dan digantikan oleh Cornelis Vos pada tahun 1818.
Begitu juga dengan residen Banten yang ke 3, 4 dan yang ke 5 semuanya hanya menjabat selama 1 tahun, mereka semua diberhentikan karena dianggap tidak mampu mengendalikan "Kamtibmas" di wilayah karesidenan Banten. Kemudian baru pada era kepemimpinan residen Banten yang ke 6, Annius Abrahami de Milverda tahun 1822 suasana relative kondusif dan jabatan pemerintahan di Banten dapat berjalan selama 5 tahun, kemudian digantikan oleh Fransiscus Hendrikus Smulders, yang menjabat selama sekitar 9 tahun, atau residen Banten yang menjabat terlama di era Hindia Belanda.
Tetapi setelah periode tersebut, situasi di Banten kembali bergejolak, sehingga pemerintah Hindia Belanda harus bolak-balik mengganti residen Banten walaupun mereka baru menjabat satu atau dua tahun.
Bahkan pada saat Geger Cilegon meletus pada tahun 1888, residen Banten yang bernama Eduard Alexander Engelbrecht dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh J.A. Falders. Bahkan Gubenur Jenderal di Batavia, yang bernama Otto van Rees diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Cornelis Pijnacker Hardijk.
Secara ringkas dapat diceritakan bahwa sejak penghancuran istana Surosowan oleh gubernur jenderal yang bernama Herman Willem Daendels pada tahun 1808, semangat pemberontakan mulai dikobarkan walau pun sifatnya hanya dikalangan para "bajak laut" saja tapi sudah membuat pemerintah "keder". Suasana ini semakin diperparah oleh kebijakan gubernur jenderal yang bernama Sir Thomas Stanford Raffles, yang menghapuskan jabatan Sultan di Banten, sejak saat itu perlawanan masyarakat Banten terhadap pemerintahan makin bergejolak, diantaranya "Rusuh Cikande Udik", "Perang Haji Wakhia" dan masih banyak lagi, dan puncaknya adalah Geger Cilegon!
Setelah setelah lebih dari setengah abad sejak dihapuskannya kesultanan Banten, timbulah kerinduan rakyat Banten untuk memiliki sultannya kembali. Mereka mulai berpikir untuk merebut kembali Banten dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada 1883, pasca gunung Krakatau meletus, para kiyai mulai melakukan konsolidasi untuk melakukan gerakan revolusi. Gerakan perlawanan ini dilakukan oleh para kiyai, petani dan nelayan dari wilayah pantai Utara Banten, karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini sangat merugikan masyarakat petani dan nelayan.
Bahkan kelompok nelayan di Bojonegara pernah melakukan petisi terhadap pemerintah atas beratnya pajak perahu yang ditetapkan, tapi tidak digubris. Akhirnya pada pada tahun 1886 gerakan pemberontakan yang di pimpin oleh para kiyai ini mulai mendapatkan respon dari berbagai kalangan. Kemudian mereka bermusyawarah dan merencanakan gerakan ini dengan hati-hati serta perhitungan yang matang. Karena merasa bahwa perlengkapan senjata mereka masih belum memadai, oleh karenanya para kiyai itu lebih mengedapenkan taktik dan strategi perang sehingga mereka yakin bisa menang.
Namun sayang, ada faktor yang diluar perhitungan mereka sehingga akhirnya, keberhasilan merebut Cilegon, dapat ditumpas kembali sebelum mereka bergerak menguasai Serang, ibu kota Karesidenan Banten. Akhirnya, pemerintah pusat di Batavia, mengirimkan pasukannya untuk melakukan pengejaran dan penangkapan-penangkapan. Karena gencarnya dan intimidasi terhadap masyarakat yang dilakukan pada saat operasi militer ini, sampai-sampai membuat keluarga-keluarga mereka juga merasa ketakukan sampai-sampai mereka tidak saling mengaku, yang akhirnya para anak keturunan mereka terputus. Gara-gara Geger Cilegon ini anak keturunan para pejuang tidak dapat mengenali buyut mereka karena orang tua mereka tidak berani mengakui silsilah keluarga.
Begitu juga dengan hampir semua Dzuriyyah Kesultanan Banten ikut terputus pada generasi sesudahnya. Geger Cilegon telah membuat silsilah keturunan Sultan Banten menjadi terputus, atau istilahnya "mati obor" sampai sekarang, karena tokoh-tokoh yang terlibat peristiwa Geger Cilegon ini sebagian besar adalah para keturunan kesultanan yang disebut dengan kaum Santana. Dan Haji Tubagus Ismail berperan untuk mengkonsolidasikan dengan pihak Santana, karena yang akan menjadi raja (meneruskan pemerintahan dibekas kesultanan Banten adalah Kiyai Haji Tubagus Ismail.
Ada pun hasil kesepakan para kiyai se Banten, sebelum pelaksanaan penyerangan, telah disepakati Haji Wasyid sebagai Panglima Perang. Dan mereka berdua ini lah yang akan memimpin penyerangan ke Serang untuk merebut dan menduduki ibu kota karesidenan Banten. Namun karena ada hal
(BERSAMBUNG).
Mohon doanya, semoga proses penulisan buku yang berjudul ; "Geger Cilegon dan Terputusnya Dzuriyyah Kesultanan Banten" ini dapat diberi kelancaran. Amin.