GEGER CILEGON 1888: Perlawanan Rakyat Banten Merebut Kemerdekaan dari Pemerintahan Kolonial Belanda
Cilegon, 1888. Di bawah tirani kolonial Belanda, rakyat yang dipimpin ulama dan jawara bangkit melawan ketidakadilan. Dengan semangat membara, mereka menyerbu pusat kekuasaan kolonial, mengguncang tatanan yang telah lama menindas.
Namun, di balik keberanian itu, datang pengkhianatan dan pembalasan brutal. Desa-desa dibakar, para pejuang diburu tanpa ampun. Di Muara Sungai Cisiih, Haji Wasid dan para sahabatnya bertahan hingga nafas terakhir, menjelma martir bagi perjuangan tanah air.
"Buku ini menceritakan perjalanan panjang tentang sejarah Kota Cilegon yang selama ini luput dari perhatian, sejak era Kesultanan, masa penjajahan, hingga masa kemerdekaan dan perkembangan terkini."
Buku āGeger Cilegon 1888ā menelusuri salah satu episode paling monumental dalam sejarah perlawanan masyarakat Banten terhadap kolonialisme Belanda. Dipimpin oleh Haji Wasidāseorang ulama yang disegani dan teguh pendirianāperistiwa ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan fisik, tetapi juga sebuah revolusi spiritual, sosial, dan politik.
Melalui riset mendalam dan referensi yang kaya, buku ini mengajak pembaca menyelami:
Latar belakang munculnya ketegangan sosial di wilayah Cilegon menjelang akhir abad ke-19, termasuk ketimpangan ekonomi, penindasan pajak, dan pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan yang memantik amarah rakyat.
Peran penting ulama dalam masyarakat, termasuk relasi kompleks antara Haji Wasid dengan para sahabat seperjuangannya dan konflik internal yang terjadi di tengah tekanan penjajahan.
Taktik dan strategi pemberontakan yang disusun secara sistematis, dimulai dari rapat rahasia di Langgar Jombang Wetan hingga pecahnya serangan besar-besaran ke pusat-pusat kekuasaan Belanda.
Kehancuran fisik dan budaya, termasuk hilangnya gedung-gedung bersejarah dan perubahan besar pada wajah Cilegon pasca-revolusi.
Detik-detik kekalahan para pejuang, rute pelarian Haji Wasid, serta pertempuran berdarah di Muara Sungai Cisiih yang menjadi akhir tragis dari perjuangan gagah berani ini.
Jejak-jejak sejarah yang tertinggal, termasuk makam para pejuang, lokasi penobatan raja, serta pasar Cilegon yang tumbuh dari sejarah panjang konflik dan keteguhan identitas.
Lebih dari sekadar catatan pemberontakan, buku ini adalah sebuah napak tilas terhadap identitas masyarakat Banten yang tak pernah padam dalam menjaga martabat, keyakinan, dan kebebasan. Melalui Geger Cilegon 1888, kita diajak menyelami bagaimana sejarah mampu membentuk karakter, menyuarakan nilai-nilai keadilan, dan memperkuat solidaritas sosial yang melampaui zaman.