Setelah amuk para jawara dan perlawanan sengit para ulama di Cilegon, perjuangan rakyat menghadapi titik balik yang menentukan. Kolonial Belanda, yang sempat terkejut oleh serangan mendadak, segera mengerahkan pasukan besar untuk menghentikan pemberontakan.
Dari tragedi berdarah di Toyomerto, pengejaran tanpa henti terhadap Haji Wasid dan para pejuang, hingga ekspedisi militer Belanda yang brutal, kemudian dalam buku ini mengungkap bagaimana Cilegon dibakar, para pejuang ditangkap, dan desa-desa dihancurkan. Rute pelarian para pemimpin perjuangan penuh dengan pengkhianatan, penderitaan, dan pengorbanan.
Di Muara Sungai Cisiih, babak terakhir perjuangan pun terjadi. Haji Wasid dan rekan-rekannya bertahan hingga titik darah penghabisan, sebelum akhirnya gugur sebagai martir dalam perlawanan yang menggetarkan sejarah Banten.
Buku ini menyajikan fakta-fakta yang jarang terungkap, dari lokasi eksekusi para pejuang, jejak duet maut Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail, hingga bagaimana Geger Cilegon membentuk karakter perlawanan rakyat di masa depan.
Karena sejarah adalah nyala api yang tak boleh padam, Geger Cilegon 1888 menjadi bukti bahwa keberanian dan pengorbanan tak pernah sia-sia. Perlawanan para ulama dan jawara melawan tirani kolonial bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi warisan semangat yang terus mengalir dalam denyut sejarah bangsa.