Sudah lebih dari satu abad lamanya, Kesultanan Banten tak lagi memiliki sosok Sultan yang hidup di tengah-tengah rakyatnya. Sejak masa kolonial Belanda, jejak kekuasaan politik kesultanan ini memang telah dipadamkan. Namun bukan berarti warisan budaya, nilai-nilai luhur, dan peran sim bolis dari seorang Sultan harus ikut terhapus dari ingatan kolektif bangsa, terlebih bagi masyarakat Banten sendiri. Padahal, jika kita menoleh ke berbagai daerah lain di Indonesia, banyak kerajaan dan kesultanan yang tetap hadir sebagai entitas budaya, meski tidak lagi memegang kendali pemerintahan. Sebut saja Kesultanan Yogyakarta, Surakarta, Ternate, atau bahkan Kutai Kartanegara. Mereka diakui secara resmi dan menjadi mitra pemerintah, khususnya dalam pelestarian nilai-nilai adat dan budaya daerah. Mereka tetap dihormati sebagai penjaga warisan sejarah dan symbol jati-diri daerahnya.
Lalu, mengapa Banten – yang pernah menjadi pusat kekuatan Islam dan perdagangan penting di Nusantara – justru kehilangan figure Sultannya? Sudah saatnya Banten juga menghadirkan kembali sosok Sultan, bukan sebagai penguasa politik, tetapi sebagai simbol kebudayaan. Seorang Sultan hari ini tidak perlu duduk di tampuk pemerintahan, tetapi ia dapat menjadi tumpuan harapan untuk merawat akar budaya Banten yang kian terkikis zaman.
Melalui keberadaan resmi dan pengakuan terhadap Sultan Banten sebagai entitas budaya, kita menegaskan bahwa Banten tidak pernah putus dari sejarah besarnya sebagai sebuah kesultanan. Sosok Sultan dapat memainkan peran penting didalam menghidupkan kembali tradisi, adat istiadat dan nilai-nilai luhur warisan leluhur. Ia bisa menjadi mitra strategis Pemerintah Propinsi Banten dalam bidang kebudayaan: membina generasi muda, melestarikan situs-situs sejarah, hingga menjadi jembatan antara masa lalu yang agung dan masa depan yang beradab.
Oleh karena itu, perlu ada langkah serius dan resmi dari pemerintah propinsi Banten untuk mengakui dan menghidupkan kembali keberadaan “Sultan Banten” sebagai “Entitas Kebudayaan”. Ini bukan soal gelar atau kemewahan, tetapi soal menjaga warisan dan harga diri sejarah Banten di mata bangsa, dan tentu saja di mata dunia internasional, sebab Banten merupakan sebuah negara maju serta sebuah pusat perdagangan lintas benua. Tanpa upaya ini, kita juga khawatir generasi mendatang hanya akan mengenal Banten sebagai wilayah administratif belaka, bukan sebagai wilayah bekas kesultanann yang pernah berdiri megah disegani dunia pada zamannya.
Kini saatnya kita bangkitkan kembali marwah kesultanan Banten --bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk menguatkan jati diri budaya kita hari ini dan masa depan. Ditengah upaya membangkitkan kembali peran Kesultanan Banten sebagai entitas kebudayaan ini, ada hal penting untuk kita soroti dari salah satu dzuriyah (keturunan) Sultan Ageng Tirtayasa yang masih ada hingga hari ini. Diantara mereka, terdapat satu sosok yang patut diberi perhatian khusus, yaitu H. Tubagus Abdul Basit, seorang keturunan langsung Sultan Ageng Tirtayasa pada generasi yang ke IX. Berdasarkan catatan silsilah yang dimilikinya, serta beberapa dokumen lainnya, beliau ini memang layak untuk tampil.
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengenal lebih dekat dari sosok siapa Abdul Basit, serta alasan apa yang harus menjadi pertimbangan sehingga kita tergugah untuk mengikuti kisahnya. Adakah kisah menarik yang mampu memberikan keyakinan kepada kita tentang catatan perjalanan hidupnya? Disinilah nanti letak keunikannya, yang akan membangkitkan pergulatan pikiran antara mitos dan kenyataan.
Mari kita coba menilik beberapa wilayah di Indonesia yang “menghidupkan kembali” atau mempertahankan eksistensi Sultan/ Raja sebagai entitas budaya (bukan jabatan politik), baik yang ada di pulau Jawa atau wilayah lainnya. Nampaknya sepele memang, namun sebenarnya itu memegang peranan penting didalam menjaga identitas dan adat istiadat. Sultan dan keraton berfungsi sebagai simbolik yang memayungi upacara, seni, tradisi, dan juga etika adat setempat. Tanpa ini, kita pasti kehilangan jati diri, sesuatu yang menjadi kekuatan besar dalam mewujudkan bangsa yang besar.
Banyak istana/ Keraton yang dijadikan museum atau ruang pamer. arsip dan sekaligus sebagai laboratorium budaya, misalnya Siak, Deli, Pontianak dan Surakarta. Mereka semua menjadi kemitraan pemerintah daerah yang mempunyai dukungan regulatif, pendanaan event, promosi destinasi yang sangat menunjang bagi kegiatan Pariwisata Budaya, yang akan berdampak pada meningkatnya perekonomian masyarakat secara umum. Nilai positifnya, selain bangsa itu dapat menemukan jati dirinya, ia juga akan meberikan peluang bagi terbukanya lapangan pekerjaan non formal.
Sebut saja Cirebon, yang memiliki tiga simbol entitas budaya sekaligus, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan keraton Kacirebonan. Dimana Sultan Sepuh sebagai figur simbolik budaya, dengan agenda event tahunan yang bertema: Panjang Jimat, Grebeg Syawal, dan Festifal Topeng. Keraton Kanoman, dimana Sultan sebagai simbolik pewaris adat, yang menyimpan benda-benda pusaka Sunan Gunung Jati. Dan Keraton Kacirebonan, sebagai simbolik sekaligus mempertahankan upacara ritual keagamaan.
Demikian juga dengan Kesultanan Banten yang tetap terus merawat serta mempertahankan kegiatan-kegiatan budayanya, namun sangat disayangkan, tidak ada simbolik sosok seorang sultan. Pada hari-hari tertentu kegiatan kebudayaan itu dilaksanakan di sekitar halaman masjid Agung Banten setiap tahunnya. Misalnya, haul Maulana Hasanudin, atau haul Maulana Yusuf, mau pun acara-acara dalam rangka memperingati hari-hari besar. Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan memang berakar pada warisan kesultanan, yang inti ritualnya menekankan pada syukuran, persaudaraan, dan penghormatan leluhur/ sultan.
Hal seperti ini tentu saja sangat bernilai positif bagi ruang sosial budaya, yang berfungsi sebagai perekat masyarakat, syiar agama, hingga festival ekonomi. Tentu saja peranan pemerintah sangat menentukan dalam suksesnya penyelenggaraan acara tersebut, selain sebagai fasilitator juga sebagai promotor, menjadikannya bagian dari identitas daerah sekaligus daya tarik wisata. Karena Banten kaya akan nilai-nilai sejarah, maka peluang untuk mnjadikan Banten sebagai daerah tujuan wisata sejarah sangat memungkinkan, sebab selain memiliki situs-situs cagar budaya peninggalan kesultanan Banten, di wilayah propinsi Banten juga memiliki monumen-monumen bersejarah yang bisa dikembangkan dari sebuah peristiwa yang pernah mengguncangkan pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa tersebut dikenal dengan Pemberontakan Petani Banten atau atau lebih popoler dengan sebutan Geger Cilegon 1888.
Memang jejak-jejak dari peristiwa ini jarang diketahui publik, akan tetapi untuk menggalinya serta menjadikan monumen dari jejak-jejak sejarah besar di Banten ini tidaklah sulit apabila kita mempunyai niat yang sungguh-sungguh. Seperti itulah yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di daerah lain. Di banyak penjuru Nusantara, nama-nama besar kesultanan dan kerajaan tidak pernah benar-benar padam. Kutai dengan upacara Erau yang gegap gempita, Cirebon dengan panjang Jimat yang meriah, Yogyakarta dan Surakarta dengan sekaten yang tak pernah sepi, hingga Siak dengan gemerlap istananya dan pusakanya yang yang dikembangkan untuk narasi sejarah melayu daerahnya.
Semua itu adalah bukti nyata bahwa masyarakat daerah merindukan dan membutuhkan sosok sultan, walau bukan sebagai penguasa politik tetapi sebagai penjaga martabat, identitas, dan ruh kebudayaan. Namun Banten, tanah yang dulu dikenal sebagai pusat peradaban Islam, mercu suar perdagangan dunia, dan benteng perlawanan kolonial, justru terjebak dalam polemik panjang tentang siapa yang berhak menyandang gelar sultan Banten.
Di satu sisi, darah-darah dzuriyah masih mengalir, pusaka masih ada, dan jejak kejayaan kesultanan masih berdiri di reruntuhan Banten lama. Tetapi disisi lain, belum tampak kebulatan tekad dalam suasana kebersamaan ditengah masyarakat untuk menegakan kembali mahkota simbolik itu diatas kepala sultan. Padahal, bayangkan seandainya Banten kembali memiliki figur sultan –bukan untuk memerintah, tetapi menjadi payung budaya, pelindung tradisi, dan sumber wibawa masyarakat, hal ini akan terasa lebih memiliki makna.
Bayangkan bagaimana haul Sultan Ageng Tirtayasa akan semakin khidmat jika dipimpin oleh seorang Sultan Banten yang diakui, baik kalangan oleh masyarakatnya mau pun oleh pihak pemerintah, yang dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator. Demikian juga dengan peringatan Geger Cilegon misalnya, ia akan terasa lebih berwibawa jika dihadiri serta direstui oleh sultan, karena peristiwa Geger Cilegon itu tidak dapat dipisahkan dari dampak atas dihapuskannya kesultanan Banten. Hal inilah yang telah menimbulkan gejolak perlawanan dari rakyat Banten yang terus menerus terjadi dalam beberapa dekade pada masa itu. Dimana gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda ini merupakan sebuah tuntutan rakyat yang dimotori oleh para kiyai dari kalangan bangsawan kesultanan Banten.
Sultan bukan sekedar gelar, melainkan ruh peradaban yang mampu mengikat kembali jaringan ulama, Syarif, Sayid, dzuriyah, dan masyarakat luas. Di era ketika banyak kerajaan lain berhasil bangkit sebagai entitas budaya, Banten sudah seharusnya juga ikut bangkit. Karena dengan menghadirkan kembali Sultan Banten, bukan hanya sejarah yang dipulihkan, tetapi juga harga diri dan wibawa orang Banten yang akan terangkat dimata bangsanya sendiri, bahkan dimata dunia internasional. Dimana Banten akan lebih dikenal dari perspektif yang membanggakan serta akan menjadi contoh serta suri tauladan bagi daerah-daerah lainnya. Kini saatnya masyarakat Banten bertanya pada diri sendiri: Apakah kita rela melihat Kesultanan Banten hanya tinggal catatan sejarah usang?
Atau kah kita berani berdiri, menyatukan suara, dan memanggil kembali mahkota yang telah lama tersimpan dalam kabut polemik? Karena sejatinya, menghadirkan kembali Sultan Banten bukanlah nostalgia, tetapi sebuah ikhtiar kebudayaan, untuk menegakan marwah, memperkuat identitas, dan mewariskan kebanggan kepada anak cucu kita. Tentu saja, kita juga tidak mau besikap sembrono ketika menghadirkan kembali Sultan Banten ditengah-tengah masyarakat, yang nota bene sesuatu yang memang asing ditelinga. Disamping itu, tentu banyak sekali dzuriyah kesultanan yang tersebar dimana-mana, hal ini yang perlu menjadi pertimbangan utama, dimana sosok Sultan Banten harus mempunyai dasar yang kuat serta latar belakannganya mampu meminimalisir polemik serta perdebatan panjang yang kemungkinan akan timbul.
Mari kita telusuri lebih jauh tentang sosok H. Tubagus Abdul Basit, salah seorang yang dzuriyah sultan Banten, agar kita bisa memberikan apresiasi terhadap kemunculannya. H. Tubagus Abdul Basit adalah sosok yang namanya terpatri dalam sejarah keturunan Kesultanan Banten. Ia merupakan darah langsung dari Sultan Ageng Tirtayasa, melalui salah seorang putra sang sultan yang bernama Tubagus Athif. Hubungan darah ini bukan hanya terjaga dalam sebuah catatan silsilah yang telah tersusun, tetapi juga hidup dalam kisah-kisah yang diwariskan secara turun-temurun ditengah keluarga mereka. Kisah yang jarang sekali dimiliki oleh siapa pun di luar lingkaran keturunan inti Kesultanan Banten.
Diantara cerita yang dituturkan secara turun temurun, dari pendahulunya sampai pada generasi sekarang, menyimpan gambaran yang begitu jelas tentang suasana kesultanan Banten pada saat menjelang kehancurannya. Sebuah masa kelam ketika terjadi perang saudara antara ayah dan anak –Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji —yang bukan saja mengguncang tahta, tetapi juga mengguncang hati rakyat Banten. Cerita ini bukan sekedar kisah sejarah yang kaku, melainkan narasi hidup yang pernah diceritakan dari mulut ke mulut, dari para leluhur kepada anak cucu, hingga sampai kepada H. Abdul Basit dan saudara-saudaranya.
Bagi orang luar, memperoleh kisah sedetil itu hampir mustahil. Namun, bagi keluarga Abdul Basit, cerita ini adalah warisan, amanah, sekaligus bukti yang menguatkan identitas mereka. Ia membawa bukan hanya sisilah yang tertulis diatas kertas, tetapi memori sejarah yang terus menerus dihidupkan lewat tutur keluarga. Lebih dari itu, Abdul Basit juga menyimpan benda-benda pusaka peningalan kesultanan Banten, yang diwariskan secara turun temurun. Keberadaan pusaka-pusaka tersebut semakin memperkuat legitimasi dirinya sebagai pewaris syah garis keturunan dari kesultanan Banten, yang sekarang hanya tinggal puing-puing berselimutkan “cagar-budaya”.
Diantara pusaka-pusaka itu, terdapat sebuah batu hitam mengkilat berbentuk hampir menyerupai piala –sebuah simbol sakral pemegang tahta. Batu itu pada masa lampau diserahkan kepada sultan Banten sebagai simbol penerus tahta pada saat pelaksanaan sumpah dan janji suci. Dimana sang raja duduk diatas “Palangka Sriman Sriwacana”, atau batu andesit berbentuk segi empat, yang pada mulanya merupakan tempat penobatan raja Sunda di Pakuan Pajajaran. Tapi setelah jatuhnya Pajajaran pada tahun 1579, batu tersebut dibawa ke komplek keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Sejak saat itu, Palangka Sriman Sriwacana dijadikan sebagai tempat penobatan raja di Banten karena dianggap bahwa sudah tidak ada lagi penobatan raja di kerajaan Pajajaran, dan Maulana Yusuf sebagai penerus dari kerajaan Pajajaran. Setelah di Banten, batu tempat penobatan raja itu dikenal dengan sebutan “Watu Gigilang”, yang artinya batu dengan permukaan yang mengkilap atau “kinclong”. Perubahan nama penyebutan ini menyesuaikan bahasa dan kebiasaan setempat. Sejak saat itulah “Watu Gigilang” menjadi tempat penobatan raja-raja Banten sampai pada era kehancurannya.
Dalam cerita turut di kalangan keluaraga Abdul Basit, bahwa penobatan sultan di Banten, dilakukan di atas batu ini, dan selain sultan menerima mahkota, juga diberikan sebuah batu hitam sebagai lambang peneguhan kekuasaan dan kesahihan. Karena batu hitam, yang merupakan simbol dari “tongkat estafet” kepemimpinan itu terlihat mengkilat pada bagian permukaannya, maka batu hitam yang memiliki nilai sakral itu disebut Watu Gilang. Dan pada saat terjadi penyerangan ke keraton Surasowan oleh pasukannya Sultan Ageng Tirtayasa, batu itu pun diambil dan disembunyikan.
Tujuan dari pengambilan Watu Gigilang itu dimaksudkan agar tidak ada lagi penobatan sultan di Banten, karena pada masa itu dianggap bahwa di Banten sudah tidak ada lagi sultan yang berdaulat penuh, baik secara politik, militer mau pun keagamaan. Karena setelah terjadi peperangan antara Sultan Haji, yang dibantu oleh VOC dengan pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, kekuasaan di kesultanan Banten hanya menjadi sekedar simbolik sebab roda pemerintahannya dikendalikan oleh Belanda, bahkan termasuk pengangkatan sultan selanjutnya.
Sementara Watu Gigilang adalah merupakan simbolik “pengesahan” atas penyerahan kekuasaan dari Sultan kepada penerusnya. Maka sangat wajar, jika penyelamatan atau pengambilan batu tersebut menjadi prioritas utama ketika terjadi peperangan. Dan hanya garis keturunan Sultan Ageng Tirtayasa yang mempunyai legitimasi menjaga pusaka itu.
Ada pun bentuk dari Watu Gigilang mengerucut ke atas seperti sebuah tugu kecil yang terbuat dari batu hitam padat. Dilihat dari tampilannya, yang hitam mengkilap, menandakan batu tersebut memiliki usia yang sangat tua. Dalam budaya kerajaan Hindu Budha di Nusantara, bentuk tugu semacam itu disebut Lingga, yang melambangkan hubungan antara bumi dengan langit, kekuasaan dan spiritualitas, yang dalam tradisi Islam dapat dimaknai menjadi simbol “amanah” dari Allah, yang juga memiliki makna bahwa raja diberi mandat, bukan sekedar dinobatkan, atau sebagai perlambang sumpah setia antara rakyat dan pemimpinnya.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah simbol terakhir kekuasaan mandiri dan agung di Kesultanan Banten. Maka wajar jika batu ini tidak pernah dipergunakan, dan justru diselamatkan oleh garis keturunan yang setia pada kedaulatan sejati, bukan berada di bawah garis keturunan Sultan Haji, yang bersekutu dengan VOC, tetapi harus berada dibawah garis keturunan Tubagus ‘Athif, adik dari Sultan Haji, sekali pun ia statusnya bukan putra mahkota. Dengan demikian batu itu bukan sekedar benda, tapi sebuah penegasan sejarah dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Dengan bekal silsilah yang syah, cerita autentik yang hanya ada dikalangan keluarga inti, serta benda-benda pusaka yang memegang nilai simbolis tinggi, maka Tubagus Abdul Basit dapat dinyatakan secara formal dan meyakinkan sebagai keturunan langsung Sultan Ageng Tirtayasa. Ia adalah penjaga warisan sejarah, penghubung masa lalu dengan masa kini, dan saksi terakhir dari kisah yang hampir hilang ditelan zaman. Dengan demikian Ia memang layak disebut sebagai Sultan Ageng Titayasa IX, sesuai dengan statusnya sebagai keturunan Sultan Banten ke VI pada generasi yang ke IX.
Tentu saja kehadiran sosok Tubagus Abdul Basit, dengan menyandang gelar Sultan Ageng Tirtayasa IX ini telah melalui proses panjang, bahkan mampu menghadirkan kembali sebuah kesimpulan yang sangat mencengangkan! Dirinya seperti sebuah buku yang ditulis ulang tentang kilas balik dari sebuah peristiwa yang pernah terjadi pada beberapa abad yang lalu di Kesultanan Banten.
Peringatan Kemerdekaan RI ke-80 tahun 2025
Taman Rekreasi Geopark Galunggung
Penyelenggara:
Majelis Tritangtu Forum Silaturahmi Sunda Sabuana
SK Menkumham RI No. AHU-0011478.AH.01.04.Tahun 2022
Jenis Acara:
Pemberian apresiasi dan penghargaan tertinggi dalam bentuk Galunggung Awards
Kategori Penghargaan:
Adiluhung Budaya Ki Sunda Utama
Sebagai: Tokoh Budaya Sunda Banten Pelestari Adat Tradisi Kesultanan Banten
Kategori Penghargaan:
Adiluhung Budaya Ki Sunda Utama
Peringatan Kemerdekaan RI ke-80 tahun 2025
Lokasi: Taman Rekreasi Geopark Galunggung
Penerima Penghargaan:
Sri Sultan H. Tubagus Abdul Basit
Gelar: Sultan Ageng Tritayasa IX, Dewan Kerajaan Royal Nusantara
Kategori Penghargaan:
Adiluhung Budaya Ki Sunda Utama
Sebagai: Tokoh Budaya Sunda Banten Pelestari Adat Tradisi Kesultanan Banten
Penandatangan Piagam:
Irjen. Pol. (Purn) Dr. H. Andika Hazrumy, S.H., M.H.
Dr. Dra. Uis Suryanianti Sumarlina, M.S.
Kategori Penghargaan:
Adiluhung Budaya Ki Sunda Utama
Untuk mewujudkan Nusantara yang maju, menjunjung tinggi cinta tanah air, dan jiwa nasionalisme
Alasan Pemberian Penghargaan:
Berjasa memelihara dan melestarikan:
Adat
Tradisi
Sejarah
Seni
Relegi
Pendidikan berbasis budaya Sunda
Pemberian Tugas Khusus Pangkodiv X
Ketika itu, di suatu senja yang teduh, didalam ruang peraduan istana yang beraroma gaharu, Sultan Abul Ma’ali Ahmad duduk termenung. Raut wajahnya memancarkan kesedihan yang teramat dalam. Matanya terpejam, pikirannya menerawang jauh ke sebuah masa yang belum tiba, yang seakan-akan dirinya sedang berjalan-jalan di sebuah tanah lapang yang sepi. Tak ada suara dan tak ada kehidupan disana, bahkan istananya yang megah pun sudah tak tampak lagi. Para ponggawa, abdi dalem dan bala tentara kesultanan yang gagah perkasa entah kemana.
Perlahan, Sultan Abul Ma’ali Ahmad membuka matanya seiring dengan helaan nafasnya yang dalam. Ia melihat kesekeliling ruangan istananya, ternyata semua masih ada. Ia hanya terbawa kedalam sebuah lamunan yang jauh menembus batas ruang dan waktu, dimana pada masa itu orang-orang sedang sedang berebut kekuasaan dan tak lagi peduli kepada jeritan rakyatnya. Situasinya hampir sama seperti hari-hari yang pernah diceritakan oleh sang ayah, Sultan Abul Mafakir.
Sejak usianya baru 5 bulan, ayahnya sudah dinobatkan menjadi putra mahkota. Beruntungnya pada masa itu ada seorang yang bernama Jayanegara, orang tua yang sangat bijaksana dan mempunyai pengalaman yang luas dibidang pemerintahan, sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan stabil. Tapi ketika Jayanegara wafat, badai besar mengguncang istana dan hampir memporak-porandakan bahtera kesultanan seandainya saja Arya Ranamanggala tidak segera mengambil alih nakhoda. Berkat kepiawaian Arya Ranamanggala mengendalikan roda pemerintahan maka badai pun dapat dilaluinya.
Dan sekarang, pada saat dirinya memegang tampuk kekuasaan, aroma persaingan saling berebut pengaruh pun sudah mulai tercium. Namun jika itu sampai terjadi, tak bisa diharapkan bahwa akan muncul nakhoda penyelamat seperti pada masa sebelumnya, karena situasinya sekarang sudah berbeda. Dengan berdatangannya bangsa-bangsa asing di kawasan kesultanan Banten, yang walau pun nampaknya mereka terlihat ramah karena dibalik itu ada keinginan untuk menjalin persahabatan, tetapi tak bisa dipungkiri jika suatu saat nanti mereka akan menjadi pemangsa yang membinasakan! Tak ada pilihan lain, upaya harus dilakukan. Keberlanjutan kesultanan harus terus dipertahankan, dan ikhtiar harus dijalankan.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad bukan sekedar raja dalam pengertian politik. Ia adalah seorang penguasa yang diyakini memiliki mata bathin yang tajam, hingga mampu menyingkap tirai masa depan. Dalam perenungan-perenungan spiritualnya, ia menangkap bayangan gelap yang mengintai masa depan kesultanan Banten –bayang-bayang perpecahan, penghianatan, dan runtuhnya kekuasaan Islam di tanah Banten.
Sang Sultan tahu bahwa takdir tidak bisa dirubah, namun warisan ruhani harus diselamatkan, agar kelak bila Banten terhapus dari kekuasaan, jati dirinya tidak ikut punah. Maka menjelang wafatnya, dalam kesunyian yang tak diketahui orang, ia berpesan kepada orang kepercayaannya, dan melalui jalur khusus, ia menetapkan bahwa penerus sejati kesultanan Banten kelak bukanlah yang kelihatan diatas tahta, tapi yang membawa amanat bathin dari darahnya –yakni cucunya dari jalur Tubagus Athif, adik Sultan Haji.
Ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta, kerajaan Banten mencapai kejayaannya. Ia menolak bekerja sama dengan VOC, memperkuat sistem hukum Islam, memperluas pelabuhan, dan membangun kanal-kanal perdagangan. Namun dibalik kejayaan itu, benih perpecahan diam-diam tumbuh didalam keluarganya sendiri. Putranya, Abu Nasr Abdul Kohar yang kelak dikenal sebagai Sultan Haji, berbeda jalan pandang. Ketik konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC memuncak, Sultan Haji justru bersekutu dengan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka pecahlah perang ayah dan anak pada tahun 1680-an, sebuah tragedi yang meluluhlantakan bukan hanya istana tetapi juga kepercayaan rakyat.
Dalam kekacauan itu, muncul sosok yang lama tenggelam dalam dari perhatian sejarah: Tubagus Athif, adik Sultan Haji, cucu Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Ia adalah pewaris yang tidak ditakdirkan duduk di singgasana, tetapi diberi amanat untuk menyelamatkan sesuatu yang lebih besar dari sekedar tahta: sebuah “batu pusaka”, sebagai simbol legitimasi, lambang spiritual dari garis kesultanan yang syah.
Batu itu bukan sekedar pusaka. Ia diyakini sebagai “meterai Bathin” –simbol ijazah ruhani dan tanggng-jawab sejarah. Batu itu disimpan dalam sebuah tempat yang aman, dan selama lebih dari dua abad, ia dijaga, disembunyikan, dan diwariskan secara diam-diam, dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam garis keturunan Tubagus Athif. Mereka tidak memamerkan warisan itu. Mereka tidak mencampuri urusan politik, sebab bagi mereka, tugasnya bukan merebut kekuasaan duniawi, tapi menjaga bara suci warisan leluhur. Karena itulah mereka tidak dicari, VOC tidak mengetahui jika ada seorang anak sultan yang menyimpan pusaka secara turun temurun.
Hingga tibalah masa kini –abad ke-21—ketika banyak yang mengira bahwa kesultanan Banten hanya tinggal dalam naskah-naskah dan situs purbakala. Namun dari garis darah kesembilan Sultan Ageng Tirtayasa, munculah seorang keturunan bernama Tubagus Abdul Basit. Ia bukan bangsawan istana, bukan pula politisi. Namun dalam dirinya mengalir darah, memori, dan amanat yang telah lama ditutupi sejarah. Ia tampil bukan untuk menuntut singgasana, tetapi untuk menunjukan bahwa warisan bathin kesultanan Banten masih hidup –dalam bentuk keyakinan, dalam bentuk tanggung-jawab, dan dalam bentuk pusaka-pusaka yang kini berada di dalam genggamannya.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad terjaga dari lamunan panjangnya. Lalu ia bangun dari duduknya, ia mengambil selembar kertas dan sebuah pena. Dengan perlahan dan sikap yang tenang ia pun mulai menuliskan nama-nama, yang dipersiapkan untuk nama para keturunannya dari generasi ke generasi. Apa yang ditulisnya itu bukan sekedar catatan dalam lembaran kertas, melainkan pusaka yang ditulisnya untuk dijadikan pegangan bagi para keturunannya sampai sembilan generasi. Ia meyakini bahwa pada generasi yang kesembilan itulah nanti yang akan membangkitkan kembali marwah kesultanan, jika suatu saat nanti kesultanan Banten sudah tidak ada lagi.
Huruf-hurufnya ditulis dengan tinta hitam pekat, menyusun nama-nama yang kelak akan menjadi penjaga marwah tanah leluhur. Kepada sang Mangkubumi, beliau berpesan lirih namun tegas: “Jika kelak Pangeran Surya, putra mahkota kita, telah cukup usia untuk memikul beban sejarah, serahkanlah catatan ini ke tangannya”. Catatan itu memuat sebuah silsilah yang anehnya –atau mungkin justru ajaibnya—ditulis untuk generasi yang belum lahir. Serangkaian nama-nama sudah tertera jauh sebelum nafas pertama mereka mengisi dunia.
Didalamnya, tersimpan garis keturunan dari Sultan Ageng Tirtayasa melalui salah seorang putranya yang bernama Tubagus Muhamad Athif. Dari sanalah kelak sembilan generasi akan berjalan, hingga amanah besar itu sampai di tangan Tubagus Abdul Basit. Namun mengapa amanah ini harus melewati delapan generasi terlebih dahulu?
Dalam lamunan panjangnya, Sultan Abul Ma’ali Ahmad telah membaca firasat alam, bahwa pasca kepemimpinan cucunya, Sultan Haji, kesultanan Banten akan diguncang badai, dihantam oleh gelombang yang memecah kejayaan hingga sirna dari peta kekuasaan. Sebuah pemikiran tentang kehancuran kesultanan Banten di masa depan, dan hal ini hanya bisa dibaca oleh seorang sultan sepuh yang berhati bersih bernama Abul Ma’ali Ahmad, ayah Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad adalah seorang tipe pemimpin yang tidak mabuk akan kekuasaan, namun suratan takdir sudah menorehkan garis tangannya sebagai Putra Mahkota, tak bisa dihindari. Olehkarenanya ia punya tugas untuk menjaga dan merawat sebuah negara yang telah dibangun oleh leluhurnya, dan harus terus dipertahankan. Terlebih lagi, dirinya adalah sultan muda atau sultan wakil yang bertanggung-jawab atas urusan dalam negeri di kesultanan Banten, sementara ayahandanya mengurus urusan luar negeri.
Meskipun memegang gelar sultan muda, Sultan Abul Ma’ali Ahmad tidak sempat memerintah secara penuh karena wafat terlebih dahulu pada tahun 1650, tidak lama setelah ia menulis surat wasiatnya. Dan kematiannya itu terjadi sebelum ayahandanya wafat pada tahun 1651. Setelah itu, putranya, Pangeran Surya, diangkat sebagai Sultan Banten ke-6, yang kemudian mendapatkan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Selama masa hidupnya, Sultan Abul Ma’ali Ahmad dikenal karena jasanya dalam mengedarkan uang Banten yang terbuat dari besi dan timah.
Dan menjelang kematiannya itulah Sultan Abul Ma’ali Ahmad menuliskan sebuah wasiat tentang nama-nama untuk anak keturunannya yang bakal lahir, sejak dari Tubagus Muhamad Athif sampai pada generasi yang ke sembilan. Nama-nama inilah yang kelak akan mendapat tugas untuk selalu menjaga jejak kesultanan Banten, yang pada suatu hari nanti akan terhapus dari ingatan generasi selanjutnya. Banten, sebuah negeri yang dulu berdaulat akan menjadi bagian dari sebuah negara besar yang terbentang disepanjang garis khatulistiwa, dan istananya yang megah akan berubah menjadi potongan-potongan kisah sejarah.
Dan, apa yang ada didalam pikiran Sultan Abul Ma’ali Ahmad pada waktu itu akhirnya sekarang terbukti. Demikian juga dengan nama-nama yang telah ditulisnya itu pun dilaksanakan sebagai amanat leluhur. Dan rasanya, sulit untuk dipercaya, apabila kita tidak melihat faktanya yang ada sekarang. Sebuah catatan silsilah tentang keturunan dari Sultan Ageng Tirtayasa yang sangat mencengangkan; generasi pertama Tubagus Muhamad Athif, generasi kedua Tubagus Arjawinangun, generasi ketiga Tubagus Safiudin, generasi ke empat Tubagus Asep, generasi kelima Tubagus Enu, generasi keenam Tubagus Ena, generasi ketujuh Tubagus Sa’ad, generasi kedelapan Tubagus Alwani, dan generasi ke sembilan adalah Tubagus Abdul Basit. Luar biasa! Sebuah catatan, namun sekaligus sebuah ramalan.
Kemudian, dari generasi pertama sampai generasi yang kedelapan, mereka semua telah sepakat: Bahwa amanah ini bukan milik siapa pun, selain harus diserahkan kepada Tubagus Abdul Basit. Dan, seperti seperti nubuat yang terbukti, garis takdir itu berjalan lurus –persis sebagaimana yang telah dituliskan meski para pemilik nama belum lahir ketika tinta pertama kali menyentuh lembaran kertas. Kemudian catatan silsilah itu pun dimasukan kedalam sebuah risalah Persikatan Bangsa-bangsa (PBB), pada saat terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintahan militer Jepang kepada pemerintah republik Indonesia.
Sejak masa mudanya, Tubagus Abdul Basit telah diletakan “dijalur” khusus oleh ayahnya, Tubagus Alwani. Yang, secara kebetulan bahwa Tubagus Abdul Basit adalah anak laki-laki pertama di lingkungan keluarganya. Dimana dalam tradisi di kesultanan Banten, anak laki-laki pertama akan menempati posisi sebagai putra mahkota, atau putra pewaris tahta. Tapi ia lahir pada saat kesultanan Banten sudah tiada, selain puing-puing dan lembaran sejarah yang tidak utuh, namun jejak tradisi itu justru hadir di abad XX, dimana jejak peninggalan kesultanan Banten harus dimunculkan.
Barangkali inilah yang ada didalam benak sultan Abul Ma’ali Ahmad pada tiga abad yang lalu, sehingga ia menuliskan nama Abdul Basit untuk menulis kembali catatan perjalanan panjang dari sebuah kesultanan besar yang hampir hilang jejaknya diantara hiruk-pikuk politik di propinsi Banten, sebuah bekas tanah leluhur. Padahal menurut kaca mata pada masa itu, tak perlu menunjuk lagi putra yang lain karena yang berhak melanjutkan tahta adalah putra pertama, yang bernama Abu Nasr Abdul Kahar, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sultan Haji. Apakah ini sebuah firasat?
Ayah Abdul Basit adalah seorang pengusaha yang cukup berhasil, sehingga Basit kecil hidup didalam kecukupan. Dari perlengkapan sekolah dan uang jajan tak diragukan, sehingga wajar jika ia senantiasa dikelilingi teman. Dari bangku sekolah SD hingga sekolah lanjutan, di SMP Negeri 9, serta pada jejang pendidikan selanjutnya ia tak pernah merasakan kekurangan, bahkan ia senang berbagi layaknya seperti seorang sultan.
Sekalipun begitu, perannya sebagai calon penerus “garis agung” Kesultanan Banten tidak pernah ditampakan secara terbuka, tetapi ia selalu terlihat istimewa. Pada sebagian perjalananya, kemudian ia dikenal dengan gelar G9, sebuah kependekan dari kata generasi kesembilan. Gelar ini sederhana, nyaris tanpa gema kebesaran, padahal dibalik gelar itu menyimpan lembaran rahasia sejarah, dan itu hanya diketahui di lingkaran tertentu saja. Gelar itu melekat padanya hingga bertahun-tahun, termasuk pada saat ia bersilaturahmi dengan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pada tahun 2011. Kala itu ia hadir hanya sebagai ketua rombongan dari dzuriyat kesultanan.
Entah faktor kebetulan atau sebuah pertanda lain, bersama ayahnya, sebagai generasi ke delapan, ia tinggal di jalan PTPN VIII/G9, Cilenggang, kecamatan Serpong, Tangerang Selatan. Dimana alamat tempat tinggalnya itu seakan sedang menegaskan kembali identitas yang diembannya. Ditempat itu, Ia pun mendirikan sebuah bale yang dinamai “Bale Witana Banten”, yang posisinya berada ditepi sungai Citarum. Disini bukan sekedar tempat berteduh sambil memandangi air sungai dan ditemani secangkir kopi. Tapi Bale Witana Banten adalah sebuah ruang hidup dan wadah diskusi, tentang sepotong kertas amanah berupa cacatan silsilah. Bale ini juga menjadi tempat silaturahmi, dan sekaligus sebagai jembatan yang menghubungkan antara dirinya dengan lingkungannya.
Bale Witana Banten dibangun sebagai simbolisasi perjalanan sejarah, yang merupakan cerminan masa awal berdirinya kesultanan Banten. Ketika pusat pemerintahan berada di Banten Girang, di tepi sungai Cibanten, sebelum benteng megah dan istana Surosowan didirikan. Panamaan “Bale Witana” pun menggaung dari masa jauh kebelakang, yang merupakan perlambang titik awal dari perjalanan takdirnya. Bagi Abdul Basit, bale ini adalah penghubung masa kini dengan akar sejarah yang nyaris tertimbun, dan perlahan-lahan sedang digali kembali.
Dan semua cerita itu tersimpan rapi selama bertahun-tahun, dan berjalan seperti air mengalir sampai pada titik tertentu. Dari sana, perlahan-lahan tabir pun akhirnya menemukan jalannya. Pada bulan Juni tahun 2025, saat itu Abdul Basit yang dikenal dengan sebutan SAT G9, melangkahkan kakinya masuk ke Workshop Sejarah Geger Cilegon, di kelurahan Bulakan, kota Cilegon. Kehadirannya bukan sekedar silaturahmi biasa, namun bermaksud akan membukukan kisah perjalanan hidupnya sebagai pengemban amanah dari kesultanan Banten. Kemudian bersama sang penulis, Bambang Irawan, ia merencanakan untuk penyelesaian penulisan buku yang berjudul Geger Cilegon dan Terputusnya Dzuriyah Kesultanan Banten.
Diskusi berjalan hangat, dengan disaksikan oleh tim dari SAT G9 yang senantiasa tak pernah mengenal lelah mendampingi Abdul Basit kemanapun melangkah. Setelah menyimak seluruh penjelasan yang melatarbelakangi sosok Abdul Basit, kemudian penulis mengambil langkah, bahwa sudah saatnya gelar Sultan Ageng Tirtayasa IX itu digaungkan. Gelar itu bukan sekedar nama, ia adalah pengakuan atas amanah sembilan generasi yang sudah waktunya tiba pada pemiliknya yang syah. Tanpa ini, sulit untuk mendapatkan pengakuan. Dibalik gelar itu terpancar sebuah harapan yang jika terlaksana akan menjadi solusi ditengah situasi yang sedang kurang menggembirakan. Memang perjalanan masih panjang, namun titik terang sudah mulai muncul dipermukaan.
Dan benar saja, tak butuh waktu lama, kemudian gelar itu pun mulai terdengar, menembus ruang publik di Alun-alun Cilegon. Pada tanggal 9 Juli 2025, ditengah peringatan Geger Cilegon yang penuh makna, disana Abdul Basit hadir sebagai Sultan Ageng Tirtayasa IX. Sebuah sebutan yang mengundang banyak perhatian. Sudah lama masyarakat Banten tidak mendengar suara sultan. Sejak sang MC mengucapkan selamat datang pada acara tersebut, kemudian nama Sultan Ageng Tirtayasa IX pun mulai tersiar di media sosial. Dunia maya digegerkan oleh kemunculan Sultan Ageng Tirtayasa IX.
Sampai di titik ini, Tersisa sebuah tanda tanya yang menggelitik, apakah angka 9 itu hanya kebetulan bagi garis takdirnya, atau kah itu memang merupakan angka misteri yang belum terpecahkan sebagai pengemban amanah dari catatan silsilah. Terlebih lagi, setelah diperhatikan, ternyata Tubagus Abdul Basit ini terdiri dari 9 bersaudara, yaitu : 1. Hj. Ratu Kamilah, 2. Hj. Ratu Sopiah, 3. Tubagus Abdul Basit, 4. Hj. Ratu Nur’eni, 5. Tubagus Komarudin, 6. Ratu Halimah Tusaadiyah, 7. Tubagus Imamudin, 8. Ratu Rahmawati, dan 9. Ratu Sa’diyah. Menunjukan angka sembilan.
Dan hal yang kemudian menjadi renungan dalam perjalanan Sultan Ageng Tirtayasa IX ini adanya sebuah lagu berbahasa Sunda, yang diciptakan oleh Ade Sagara, seorang penyanyi asal Bandung pada tahun 2019. Dan lagu yang diciptakannya menarik untuk dicermati. Rangkaian lirik lagu tersebut seakan-akan sedang mengisahkan perjalanan Abdul Basit hingga kemunculannya sebagai Sultan Ageng Tirtayasa IX dimulai dari Cilegon. Padahal menurut penciptanya semua itu hanya kebetulan. Berikut ini adalah lirik lagu yang dimaksud :
Mun ka Lebak sok matak nyeblak,
Ka Pandeglang, mawa kamelang,
Ka Serang rajen hariwang
Di Cilegon nu mawa lalakon.
Ka Tangerang ulah rek ringrang,
Da pasti kuring balik rek mulang,
Sanajan di pangumbaraan,
Raga mah panteng miheman.
Banten anu ayem tentrem,
Lemah nu endah alam na,
Relijius rahayat na,
Dumasa kana iman jeung taqwa.
Banten maju sejahtera,
Mandiri nu gesan ngajadi,
Waladri ngajati diri,
Ngadeg ajeg Banten Darussallam.
Selanjutnya kita coba menterjemahkan serta sekaligus menafsirkan makna dibalik syair lagu tersebut, seperti ini
Bila ke Lebak hati terasa terkesan,
Ke Pandeglang membawa rasa khawatir,
Ke Serang sering merasa cemas,
Namun di Cilegon, disanalah kisah besar dimulai.
Tafsiran makna bagi Sultan Ageng Tirtayasa IX adalah sebagai berikut: perjalanan keliling Banten bukan sekedar langkah fisik, tetapi perjalanan bathin melihat kondisi tanah leluhur. Dari Lebak hingga Pandeglang, Serang dan akhirnya Cilegon –Tempat dimana takdirnya sebagai penerus sembilan generasi terungkap.
Ke Tangerang janganlah ragu,
Karena pasti aku akan kembali pulang,
Walau sempat merantau jauh,
Badan tetap teguh menjaga kecintaan.
Tafsiran makna bagi Sultan Ageng Tirtayasa IX adalah sebagai berikut: Meskipun berdiam di Tangerang, beliau tak pernah putus hubungan dengan akar leluhur di Banten, setiap langkah perantauan, adalah bagian dari perjalanan pulang untuk menghidupkan kembali marwah kesultanan.
Banten yang da,ai tenteram,
Tanah yang indah alamnya,
Rakyatnya relijius, berpegang pada iman dan takwa.
Tafsiran makna bagi Sultan Ageng Tirtayasa IX adalah sebagai berikut : Visi besar untuk menjaga Banten sebagai wilayah yang damai, sejahtera, dan tetap menjadikan nilai relijuius sebagai fondasi masyarakatnya.
Banten maju sejahtera, mandiri siap menjadi teladan.
Berbudaya dan berjati diri, berdiri teguh sebagai Banten Darussalam.
Penafsiran makna bagi Sultan Ageng Tirtayasa IX : Misi kedepan adalah membangun Banten yang maju secara ekonomi dan kokoh dalam identitas budayanya, dengan menjunjung nilai-nilai luhur kesultanan Banten, hingga layak disebut kembali sebagai Banten Darussalam.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa lagu diciptakannya lagu tersebut tidak dimaksudkan untuk menguatkan latar belakang Abdul Basit selama dalam pergerakannya, tetapi dalam perjalanannya, secara kebetulan telah membangkitkan mmomentum bahwa sudah tiba saatnya dan akan dimulai dari Cilegon. Ringkasnya, karena lagu itulah lah yang telah meneguhkan niat Abdul Basit untuk mulai menyandang gelar Sultan Ageng Tirtayasa IX secara terbuka.
Dan pada saat mendapat undangan untuk menghadiri acara hari peringatan Geger Cilegon, pada tanggal 9 Juli, ia meneguhkan langkahnya bersama-sama dengan tim berangkat dari Serpong, Tangerang menuju ke Alun-alun kota Cilegon tepat pada tanggal 9 Juli. Menjelang acara dilaksanakannya acara peringatan Geger Cilegon, pada sore harinya, penulis sedang kedatangan tim dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, di Surosowan resto, Royal Krakatau, pada jam 14.00. Pertemuan itu itu dihadiri oleh bapak Kabid Kebudyaan beserta staf, dengan tema diskusi tentang sultan Banten. Bertepan dengan itu, Tubagus Basit datang berserta tim. Sehingga pertemuan yang tidak terduga itu pun berlangsung hangat, membahas berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi dan budaya di kesultanan banten.
Pada hari sama, pukul 19.30 diskusi dianggp cukup kemudian Sultan Ageng Tirtayasa IX berangkat ke alun-alun untuk menghadiri acara peringata Geger Cilegon. Selesai acara, beliau
Disana ia juga bertemu dengan berbagai lapisan masyarakat, yang kemudian beberapa dari mereka diundang datang ke Bale Witana Banten, dalam sebuah acara silaturahmi dan saresehan budaya pada tanggal 22 Juli 2025. Dari Cilegon diwakili oleh : Ustadz Sunardi sebagai pemerhati sejarah, Moez Madyaksa sebagai Ketua DPD Bandrong Kota Cilegon, Haji Asep Sofwatulah sebagai ketua yayasan Ki Wasyid, dan Haji Joni Gondang sebagai Tokoh budaya serta ketua PHRI kota Cilegon.
Selain itu, dihadiri pula oleh perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Banten, Perwakilan dari Dinas Pariwisata Propinsi Banten, dan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII. Dalam kesempatan itu, dilaksanakan juga acara: Melihat dan Menyimak Pemaparan Buku Catatan Jaman Aki Tirem sampai tahun 2007. Didalamnya menceritakan perjalanan sejarah dan raja-raja Nusantara, dari Salakanagara sampai pada era kesultanan Banten dan era sesudahnya.
Dalam kesempatan itu juga, para undangan diberi kesempatan untuk melihat serta membuka bersama Dokumentasi Data Penerimaan Asset dari UBS dan PBB, hal raja musantara 17 yang berkaitan dengan Rek. Sus. Di Bank Indonesia. Ketika itu juga sempat diperkenalkan beberapa benda pusaka peninggalan kesultanan Banten, salah satunya adalah batu hitam mengkilap yang ukuran dan bentuknya menyerupai piala.
Informasi ini tentu bukan hanya menarik secara historis, tapi juga memiliki nilai kultural yang sangat tinggi dalam konteks kekinian. Ini menunjukkan bahwa kehadiran sosok Sultan dalam masyarakat Banten bukanlah sekadar romantisme masa lalu, melainkan bagian dari rencana dan amanah sejarah yang telah diwariskan secara turun-temurun. Wasiat dan penetapan tersebut menjadi penguat legitimasi bahwa peran Sultan Banten sebagai simbol budaya memang semestinya dihidupkan kembali, bukan ditinggalkan.
Dengan demikian, momentum ini harus dilihat sebagai panggilan sejarah sekaligus amanat leluhur, bahwa sosok Sultan Banten harus kembali hadir — tidak sebagai penguasa politik, tetapi sebagai entitas budaya yang memelihara nilai-nilai kebangsaan, kearifan lokal, dan kesinambungan sejarah.