Lebih dari setengah abad setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, timbul kerinduan rakyat untuk memiliki sultan mereka kembali. Masyarakat mulai memikirkan upaya merebut kembali Banten dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1883, setelah meletusnya Gunung Krakatau, para kiai mulai melakukan konsolidasi untuk menggalang gerakan revolusi. Perlawanan ini dilakukan oleh para kiai, petani, dan nelayan dari wilayah pantai utara Banten, sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang sangat merugikan.
Kelompok nelayan di Bojonegara bahkan sempat mengajukan petisi kepada pemerintah mengenai beratnya pajak perahu, namun tidak mendapat tanggapan. Akhirnya, pada tahun 1886, gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh para kiai mulai mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Mereka bermusyawarah dan merencanakan gerakan ini secara hati-hati dengan perhitungan yang matang. Karena merasa perlengkapan senjata masih kurang memadai, para kiai lebih mengedepankan taktik dan strategi perang agar dapat meraih kemenangan.
Namun sayang, ada faktor-faktor di luar perhitungan mereka. Keberhasilan merebut Cilegon berhasil ditumpas kembali sebelum mereka sempat menguasai Serang, ibu kota Karesidenan Banten. Pemerintah pusat di Batavia mengirimkan pasukan untuk melakukan pengejaran dan penangkapan. Karena gencarnya operasi militer dan intimidasi terhadap masyarakat, keluarga-keluarga para pejuang pun merasa ketakutan hingga tidak saling mengakui satu sama lain. Akibatnya, keturunan para pejuang tidak dapat mengenali leluhur mereka karena orang tua mereka tidak berani mengakui silsilah keluarga.
Demikian pula hampir seluruh dzuriyyah Kesultanan Banten terputus pada generasi sesudahnya. Geger Cilegon telah memutuskan silsilah keturunan Sultan Banten, atau istilahnya "mati obor" hingga sekarang. Sebab sebagian besar tokoh yang terlibat dalam peristiwa ini adalah keturunan Kesultanan Banten, yang dikenal sebagai kaum Santana. Haji Tubagus Ismail memiliki peran besar dalam mengonsolidasikan kelompok Santana, karena yang direncanakan untuk meneruskan pemerintahan bekas Kesultanan Banten adalah Kiai Haji Tubagus Ismail.
Judul Buku:
Geger Cilegon 1888 – Geger Cilegon dan Terputusnya Dzuriyyah Kesultanan Banten
Jilid:
3
Penulis:
Bambang Irawan
Editor:
Ermanno Graffinya
Murajaah Isi:
Ermanno Graffinya
Desain, Sampul & Tata Letak:
Ermanno Graffinya
Cetakan Pertama:
Maret 2025
Penerbit:
PT. Graffinya Design Crafting
•
Website: www.graffinyadesigncrafting.site
•
Email: graffinyadesigncrafting@gmail.com
Spesifikasi Buku:
•
Tebal : xxvi, 221 Halaman
•
Ukuran : 15 cm x 21 cm
•
QRBCN : 62-6487-0059-775
•
ISBN : 978-634-04-0986-4
All Rights Reserved Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang © 2025 Graffinya Design Crafting. Seluruh hak cipta dilindungi.
Dilarang memperbanyak, mendistribusikan, atau mengutip sebagian maupun seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan kajian pribadi dengan tetap mencantumkan sumber.